Kemiskinan dan Penduduk di Papua
Pada bulan Februari lalu, angka kemiskinan dirilis oleh Badan Pusat Statistik serentak di seluruh Indonesia, termasuk angka kemiskinan untuk Provinsi Papua. Provinsi Papua mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,16 persen dibandingkan kondisi maret 2020. Hingga akhir tahun 2020 kemarin, tercatat persentase kemiskinan di Papua mencapai 26,8 persen. Angka ini merujuk pada jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan di Papua lebih dari seperempat jumlah penduduknya!
Walaupun demikian situasi dunia yang berada dalam krisis pandemic global ini disebut sebagai trigger factor terbesar yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia semakin meningkat, tetapi pandangan ini sering diperdebatkan. Resesi akibat pandemic global memang terjadi, tetapi bukankah perbaikan ekonomi di Indonesia sendiri sudah mulai pulih semenjak triwulan ketiga tahun 2020 silam?
Penambahan jumlah penduduk miskin di tanah Papua ini bukan hanya disebab oleh pandemi covid-19 semata. Ada berbagai faktor lain di belakangnya yang turut menyumbang angka kemiskinan di Papua.
Jika diteliti lebih jauh, coba dilihat dari pandangan demografi Papua. Demografi selalu dikaitkan dengan kejadian kelahiran, kematian, dan migrasi. Banyak masyarakat dari seluruh belahan Indonesia bermigrasi ke Papua justru untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Terlihat dari kegigihan para perantau untuk mengembangkan usaha dan berkarya demi memperoleh hidup yang layak banyak bertebaran di wilayah Papua. Dalam pandangan migran tersebut, sudah sepatutnya kerja keras dilakukan sebagai bayaran atas pedihnya meninggalkan kenyamanan kampung halaman. Di tambah, sepanjang tahun 2020 terdapat berbagai kebijakan pembatasan sosial bahkan lockdown di beberapa wilayah yang menahan arus migrasi masuk dan keluar dari wilayah Papua. Ini berarti migrasi sendiri tidak cukup punya andil dalam peningkatan kemiskinan di Papua.
Isu lainnya seperti mortalitas atau kematian juga jauh dari efektivitasnya dalam menpengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat, kecuali terdapat berbagai kejadian luar biasa seperti kematian dalam skala besar akibat bencana alam, peperangan, atau mungkin genosida. Syukurnya, sepanjang tahun 2020 silam, catatan kelam terkait kematian pun masih dalam batas wajar. Efek pandemi yang cukup meresahkan wargapun tidak turut meningkatkan jumlah kematian secara drastis. Semua masih dalam Batasan normal dan wajar. Sehingga, bisa disebutkan bahwa faktor kematian di Papua sendiri tidak cukup berpengaruh pada peningkatan kemiskinan di tahun 2020.
Selanjutnya, tingkat kelahiran atau fertilitas dalam pandangan demografi, sangat berpengaruh untuk menambah jumlah penduduk di Papua. Tingkat fertilitas yang melebihi tingkat mortalitas dan migrasi tentu akan membentuk piramida penduduk menjadi sebuah piramida, dikarenakan jumlah penduduk usia bayi hingga balita akan semakin banyak dibandingkan jumlah penduduk lanjut usia. TFR tahun 2020 Papua menyebut bahwa rata-rata seorang wanita dalam usia suburnya melahirkan 2 hingga 3 orang anak di Papua (hasil proyeksi). Sedang jumlah wanita usia subur pada tahun 2020 di Papua ada sebanyak1,63 juta jiwa (81 persen dari total penduduk perempuan), yang berarti kemungkinan akan ada penambahan sekitar 3,25 juta hingga 4,89 juta penduduk dari kelahiran saja.
Nah, apabila tingkat kelahiran yang tinggi ini tidak diikuti dengan perbaikan ekonomi pada level mikro seperti keluarga, tentu bayi—bayi yang dilahirkan kemungkinan akan berada dalam kemiskinan. Selanjutnya, generasi yang dilahirkan dalam kondisi miskin ini tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik bagi masa depannya. Seperti kondisi kesehatan yang tidak optimal akibat kurangnya gizi dan nutrisi selama masa pertumbuhan, kesempatan mengenyam Pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi, atau bahkan kesempatan mengembangkan diri dengan berbagai ketrampilan baru yang dibutuhkan di masa depan.
Ini berarti, fertilitas memiliki andil yang besar dalam menemtukan status sosial ekonomi masyarakat. Anggapan semakin banyak anak banyak rezeki, terasa tidak lagi relevan di dunia kapitalis saat ini. Betul bahwa anak adalah investasi untuk masa depan, tetapi investasi inipun butuh perawatan. Anak butuh jaminan kesehatan secara komplek sejak dalam kandungan agar dapat tumbuh sehat tanpa cacat, pada masa balitanya juga membutuhkan perawatan intensif memastikan kebutuhan imunisasi dan gizi tercukupi, setelah itu memastikan anak memperoleh Pendidikan yang mumpuni agar kelak dapat menjadi pribadi yang kreatif dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan pasar. Untuk urusan kesehatan dan Pendidikan saja, investasi yang harus disiapkan orang tua tidak sedikit. Belum lagi kebutuhan afeksi dan psikologis lainnya yang tidak kalah penting.
Maka, perlu disadari bahwa penambahan jumlah penduduk dalam situasi ekonomi yang terancam resesi tentu saja akan membawa kemiskinan semakin lekat dalam masyarakat kita. Penambahan penduduk dapat disebut sebagai senjata pembangunan apabila kualitas sumber dayanya mumpuni sesuai standar nasional bahkan dunia, tetapi jika tidak jangan heran jika jurang kemiskinan akan semakin lebar.
Provinsi Papua saat ini memiliki 4,3 juta penduduk, jika 26,8 persennya miskin, berarti ada sekitar 1,15 juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Apabila penambahan penduduk semakin bertambah tanpa diiringi peningkatan ekonomi pada level rumah tangga, maka bisa dipastikan jumlah penduduk miskin akan semakin memingkat sehingga upaya Papua untuk lepas dari jerat kemiskinan akan semakin jauh.
Yang bisa dilakukan tentu saja menerapkan pembangunan inklusif merata pada setiap isu, ekonomi diperkuat dengan membuka berbagai lapangan kerja, peningkatan kualitas SDM di Papua, serta pastinya mengatur kelahiran sehingga laju pertumbuhan penduduk bisa sejajar dengan percepatan peningkatan ekonomi yang ada.