Revolusi Industri 4.0 VS Bonus Demografi

Revolusi Industri 4.0 saat ini menjadi topik perbincangan di kalangan banyak orang.  Walaupun  sebenarnya menurut Menteri Perindustrian Republik Indonesia Bpk. Airlangga Hartanto, sejak tahun 2011 kita (Indonesia) telah memasuki Industry 4.0 yang ditandai dengan meningkatnya konektivitas,interaksi, dan batas antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya yang semakin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi. Namun sudahkah kita semua tahu apa itu Revolusi Industri?

Apa itu Revolusi Industri?

Revolusi Industri merupakan perubahan besar-besaran yang terjadi pada manusia dalam melakukan proses produksi. Perubahan yang dimaksud diantaranya penggunaan mesin otomatis,  pemanfaatan tenaga listrik hingga pemanfaatan kecerdasan buatan yang bisa memudahkan manusia dalam melaksanakan proses produksi. Dan sampai saat ini kita telah mengalami revolusi industri selama empat kali.

 

Gambar : www.netobjex.com

Revolusi Industri 1.0

Revolusi Industri pertama terjadi pada akhir abad 18 ditandai dengan dikembangkannya mesin bertenaga air dan uap untuk dapat menggantian fungsi tenaga manusia yang sebelumnya digunakan dalam proses produksi. Hal ini mendorong peningkatan produksi sehingga berkontribusi besar dalam peningkatan ekonomi dan taraf sosial penduduk pada saat itu.

Revolusi Industri 2.0

Pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 terjadi Revolusi Industri kedua, hal ini ditandai dengan mulai digunakannya mesin-mesin bertenaga listrik untuk mengganti penggunaan mesin-mesin bertenaga uap sebelumnya. Mesin bertenaga listrik dianggap lebih mudah dan efisien dibandingkan mesin dengan sumber daya sebelumnya.

Revolusi Industri 3.0

Pemanfaatan elektronik, komputer hingga internet pada awal tahun 1970 dalam sektor produksi menandai masukknya era Revolusi Industri 3.0. Hal ini memungkinkan mesin produksi bisa bekerja lebih optimal karena proses produksi memanfaatkan teknologi digital yang mempermudah manusia dalam proses pengontrolan.

Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 merupakan pengembangan dari revolusi industri sebelumnya, yaitu dengan menggabungkan teknologi otomatisasi pada revolusi industri 3.0 dengan menambahkan kemampuan mengambil keputusan dengan berdasarkan data dan kemampuan analisis yang biasa disebut dengan Kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan memungkinkan sebuah komputer/ mesin dapat mengambil keputusan tanpa intervensi manusia. Pada era ini, industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data. Istilah ini dikenal dengan nama Internet of Things (IoT).

Perubahan yang terjadi pada sektor industri berdampak besar terhadap sektor ketenagakerjaan. Kehadiran teknologi, mesin otomatis dan digitalisasi pada sektor industi menyebabkan banyak pekerjaan dapat digantikan  oleh mesin otomatisasi. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan bahwa 52,6 juta pekerjaan berpotensi akan hilang disebabkan oleh arus otomatisasi dan digitalisasi.  Studi di Oxford University berjudul “Will Robots Take My Job?” (2013) menyatakan ada beberapa jenis pekerjaan yang akan tergantikan oleh mesin otomatisasi diantaranya, kasir, resepsionis, operator telepon, petugas pembukuan.

Lalu apa itu Bonus Demografi?

Selain memasuki masa awal Revolusi Industri 4.0, Indonesia juga pada saat yang sama telah masuk pada awal era bonus demografi. Bonus Demografi sendiri merupakan potensi manfaat ekonomi yang diakibatkan oleh besarnya proporsi penduduk usia produktif (15-64thn).  Puncak bonus demografi itu sendiri diproyeksi akan terjadi pada tahun 2030. Pada tahun tersebut jumlah penduduk usia produktif di Indonesia diproyeksikan mencapai 200 juta orang, atau sekitar 68% dari populasi.

Tentu jumlah penduduk usia produktif yang melimpah merupakan anugerah dari sisi pembangunan. Dengan menciptakan peluang kerja yang berkualitas dan produktif, Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Bahkan suatu studi dari McKinsey memprediksi bahwa di tahun 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia.

Namun potensi bonus demografi tidak serta merta bisa kita raih. Percepatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan hanya bisa dicapai jika jumlah penduduk produktif yang berlimpah itu dapat  terserap pada sektor lapangan kerja. Maka dari itu jumlah penduduk produktif haruslah ditunjang dengan kemampuan, keahlian dan pendidikan yang baik.

Sebaliknya jika jumlah penduduk produktif yang melimpah tidak diimbangi dengan kualitas yang baik, maka hal ini justru berdampak negatif yaitu dapat meningkatkan angka pengangguran.

Revolusi Industri 4.0 VS Bonus Demografi

Indonesia akan masuk pada dua masa yang sangat bertentangan, yang satu melahirkan banyak penduduk usia produktif, yang satu lagi berpotensi menghilangkan banyak lapangan pekerjaan karena disrupsi penerapan mesin otomatis.

Kemajuan teknologi merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari, di tengah perjuangan menciptakan lapangan pekerjaan untuk bisa menyerap tenaga kerja yang ada, kita juga harus bisa beradaptasi terhadap era Revolusi Industri 4.0 yang sudah di depan mata.

Tantangannya berada pada kualitas tenaga kerja kita. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2018 masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan rendah (SMP ke bawah),yaitu sebanyak 75,99 juta orang atau 59,80 persen dari total tenaga kerja. Sementara itu, penduduk bekerja berpendidikan menengah (SMA sederajat) sebanyak 35,87 juta orang atau 28,23 persen.  Berpendidikan tinggi hanya sebanyak 15,21 juta orang atau 11,97 persen mencakup 3,50 juta orang berpendidikan diploma dan 11,71 juta orang berpendidikan universitas.

Pendidikan para tenaga kerja yang masih tergolong rendah menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tenaga kerja kita. Berdasarkan data Asian Productivity Organization (APO), produktivitas pekerja Indonesia pada 2015 mencapai US$24.340, kalah dari Thailand (US$26.480), Malaysia (US$55.700), dan Singapura (US$127.810). Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia hanya unggul dari Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, serta Laos.

Jumlah penduduk produktif yang melimpah akibat bonus demografi harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga peluang percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. Jika tidak, potensi dampak negatif bonus demografi justru akan terjadi.

Selain peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan keahlian atau skill juga dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja. Perlu diingat bahwa selain berpotensi menghilangkan beberapa jenis pekerjaan, revolusi industri 4.0 juga akan melahirkan jenis pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan atau keahlian yang berbeda. Sehingga perlu dilakukan link and match antara sektor pendidikan dengan kebutuhan pasar sehingga tidak terjadi kesenjangan antara keterampilan pencari kerja dengan kompetensi yang dibutuhkan pasar.

Secara khusus untuk beradaptasi dengan era revolusi industry 4.0, Indonesia melalui Kementerian Industri telah melakukan suatu terobosan yang dinamai Making Indonesia 4.0. Making Indonesia 4.0 adalah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Industry 4.0. Dengan tujuan untuk Indonesia akan berfokus pada lima sektor utama untuk penerapan awal dari teknologi ini, yaitu (i) makanan dan minuman, (ii) tekstil dan pakaian, (iii) otomotif, (iv) kimia, dan (v) elektonik. Sektor ini dipilih menjadi fokus setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran PDB, perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar. Di samping itu, Making Indonesia 4.0 memuat program prioritas nasional yang bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur di Indonesia. Program inisiatif tersebut, mencakup perbaikan alur aliran barang dan material, membangun satu peta jalan zona industri yang komprehensif dan lintas industri, mengakomodasi standar-standar keberlanjutan, memberdayakan industri kecil dan menengah, serta membangun infrastruktur digital nasional.

Namun apakah kita sudah berada di jalur yang benar dalam merespon era revolusi industri 4.0?

Tentu pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab saat ini, namun monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil harusnya terus dilakukan untuk mencapai hasil optimum yang diharapkan.

The Law of Accelerating Returns

Fenomena-fenomena yang diakibatkan oleh perkembangan zaman bukan hal yang aneh belakangan ini, bahkan menurut Kurzweil dalam bukunya The Age of Spiritual Machines (1999) memperkenalkan hukum  The Law of Accelerating Returns yang salah satu intinya menyatakan bahwa perkembangan teknologi seperti halnya garis ekponensial, Kurzweil menyatakan bahwa semua perkembangan yang terjadi selama abad 20 akan dicapai hanya dalam waktu 20 tahun dalam kemajuan pada abad 21. Dengan kata lain terjadi percepatan perkembangan lima kali lipat antara abad 20 dan 21.

Gambar : innovisio.blogspot.com

Dari teori di atas dapat kita simpulkan bahwa, perkembangan teknologi tidak dapat kita hindari dan akan berkembangan semakin cepat dari waktu ke waktu. Sehingga bisa saja hal tersebut mendisrupsi atau mengubah pola bagaimana kita bekerja dan berinteraksi. Kita yang dapat memanfaatkan kemajuan dari teknologi akan meraih kemudahan dengan menjadi lebih produktif, efisien dan efektif dalam melakukan pekerjaan. Namun sebaliknya jika kita tidak dapat merespon perubahan tersebut, maka itu akan menjadi suatu kendala yang membuat kita kewalahan mengimbangi laju perkembangan negara-negara lain.

Dengan jumlah tenaga kerja yang berlimpah, dan dengan dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat, maka hanya ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama, kita bisa mewujudkan percepatan/ lonjakan kemajuan yang sangat signifikan dengan memanfaatkan tenaga kerja yang berlimpah dan teknologi yang ada, atau kedua, kita justru terdisrupsi oleh perkembangan teknologi yang akan menjadi kendala besar bagi negara ini, dikarenakan potensi pekerja yang berlimpah tidak dapat diserap dengan baik karena pemanfaatan teknologi dalam sektor industri yang berpotensi menghilangkan banyak jenis pekarjaan.

Dengan kalimat sederhana, dua kemungkinan tersebut adalah apakah kita akan berkembang sangat cepat, atau tertinggal sangat jauh. We will see.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *